Jumat, 21 Juni 2013

Free Download Panduan LKTI Fasilitasi Jawa Tengah 2013

Buat kalian yang pengen daftar dan ikutan LKTI Jawa Tengah 2013 bisa download panduannya DI SINI. Selamat mencoba, semoga berhasil! :)

Jumat, 14 Juni 2013

I Look Something in Your Eyes

I Look Something in Your Eyes

Mentari bersinar sangat terik siang itu. Berbagai logat bahasa terdengar bercampur baur di sekitar halaman Auditorium universitas negeri di Semarang. Seorang gadis bertubuh mungil dan berparas cantik terduduk lesu di bawah pohon. Ia sedang memandang langit biru yang dihiasi awan putih sambil melamun. Peluhnya tiada henti menetes karena suhu udara saat itu mencapai 370 Celcius. “Ting tong!” Sekejap bunyi bel membangunkan lamunannya. “Pengumuman! Pengumuman ditujukan kepada seluruh mahasiswa baru untuk memasuki ruang Auditorium untuk melakukan registrasi,” terdengar suara wanita keluar dari speaker besar yang terpampang di atas bangunan. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju tempat datangnya suara. “Huh... Lama banget sih! Masak begini aja pada nggak mau antre. Sebel, sebel, sebel!!! >.< “ omel gadis itu di tengah kerumunan mahasiswa baru lainnya. “Prokkk!!!! “ tiba-tiba ada seorang gadis dari belakang menepuk pundak gadis mungil tadi. Serentak gadis itu kaget. “Hai Mel, ayo cepetan! Eh Oopsss...Salaah!!! Maaf ya gue salah orang,” katanya agak salah tingkah dan malu-malu. “Hihihihi....!!!” si gadis mungil itu malah ketawa cekikikan melihat ekspresi wajah gadis yang salah mengenalinya itu. Tanpa ragu si gadis mungil mengulurkan tangannya dan berkata,” Perkenalkan namaku Janet, kamu siapa?“ Dengan sedikit ragu gadis itu menyambut uluran tangan Janet dan memperkenalkan dirinya pula. “Nama gue Gisha, maaf ya tadi gue kira loe temen gue.”
“Oh santai aja nggak papa kok. Anggep aja peristiwa tadi tidak terjadi.” Gisha  hanya bisa tersenyum. “Ayo kita ke sana sambil nunggu giliran registrasi!” ajak Janet. “Oh, iya.” Merekapun masuk ruang Auditorium bersama.
Dengan sekejap mereka jadi akrab dan ngobrol ngalor ngidul nggak putus-putus kayak rel kereta api. Tiba-tiba datanglah seorang gadis berkulit putih, tidak terlalu tingggi dan berparas cantik. “Gisha....gimana si??? Dicariin daritadi juga malah enak-enakan di sini. Nggak tau apa tadi aku khawatir kamu ngilang nggak tau arah jalan pulang!“ (#lebaynya kumat). “Hehe maafin gue ya. Sini-sini gabung sama kita. Kenalin ini Janet temen baru gue.“
“Kok bisa kenal?” Imel melihat ke arah Gisha kemudian Janet bergantian dengan tanda tanya. Gisha melirik Janet dan mengisyaratkan untuk tidak menceritakan kejadian memalukan tadi. “Asal kenal aja, tadi duduk sebelahan, ngobrol, langsung klop deh. Haha!” jawab Gisha simpel.
    Setelah peristiwa itu, mereka menjadi sahabat. Masa-masa di kampus dan di kost adalah masa-masa mereka bersama. Tiada hari tanpa seru-seruan bareng, lucu-lucuan bareng, makan bareng, sharing-sharing sampai shoping-shoping bareng. Memang Janet dan Gisha dari jurusan yang sama di universitas tersebut, mereka mengambil Psikologi sedangkan Imel mengambil Kasehatan Masyarakat karena dia memiliki jiwa sosial yang tinggi. Suatu ketika pada pagi buta di kantin kampus datanglah Imel menghampiri Janet dan Gisha yang duduk di pojokan sedang menikmati makan bakso Pak Kumis Tebel. “Eh temen-temen aku punya brosur bagus lho...liat nih!” Imel mengeluarkan selembar kertas berwarna cerah dari dalam tasnya. “Apaan tuh?” dengan nada penasaran Janet nelongop nggak sabar ingin melihat isi brosur tersebut. “Taranggg...ini dia pendaftaran penerimaan anggota baru karate. Siapa yang mau ikut?”
“Gue mau...Gue mau...!!!” Gisha spontan menjawab dengan nada bersemangat. “Loe tau aja Mel kalau dari dulu gue pengen banget ikut bela diri tapi belum kesampaian sampai sekarang.”
“Iya dong, Imel gitu. Siapa sih yang nggak tau keinginan sahabatku yang paling cantik ini.”
“Terus aku nggak cantik Mel?” Janet melihat ke arah Imel dengan nada lugu dan tanpa sadar bibirnya agak manyun. “Hahahaha....!!!” serempak Gisha dan Imel tertawa. “Lho kok kalian malah ketawa?” tanya Janet sambil mengerutkan keningnya tanda-tanda bingung. “Janet! Janet! kamu lucu banget si, kamu juga cantik tauk. Oke kalau gitu, aku ralat ucapanku yang tadi, buat kedua sahabatku yang paling cantik di dunia,” Imel tersenyum sambil mencolek hidung Janet dengan gemas karena keluguan Janet. “Nah gitu dong Mel,” kata Janet sambil tersenyum puas. “Ayo buruan daftar Gis!” Imel dengan penuh semangat membakar antusias Gisha. “Iya dong, gue bakal langsung daftar, Janet ayok ikutan daftar.”
“Wow...Aku? Yakin nih.” Janet kaget dengan ajakan Gisha.
“Ya iya lah, kenapa nggak?”
“Aku kan pendek, nggak tinggi-tinggi amat, nggak bisa nendang lagi, masak ikut yang begituan,” aku Janet agak ragu dengan dirinya. “Ya nggak papalah buat pengalaman, nemenin aku, buat bekal jaga diri juga kalau ada penjahat, kita kan cewek nggak boleh lemah dan ditindas begitu aja sama cowok. Ya nggak Mel?”
“Setuju! Dua jempol deh buat Gisha,” Imel mengiyakan pendapat dari Gisha.
“Hmmm...gimana ya. Boleh deh nyoba dulu. Kamu juga ikutan kan Mel?”
“Aku nggak ikut Net. Aku nggak tertarik sama bela diri.”
“Ya iyalah...kalau Imel kan tertariknya sama yang berhubungan sama cewek gitu, perawatan tubuh, dandan, shoping.”
“Hahaha kamu tau aja Gis. Aku jadi malu nih.”
    Sore itu dengan langkah penuh semangat ’45, Gisha dan Janet mengikuti latihan perdana karate di Unit Kegiatan Mahasiswa kampus mereka. “Wah yang ikut banyak juga ya Gis, bakalan rame nih. Duh..duh aku kok pendek sendiri di antara mereka ya.”
“Tenang aja Net, nggak bakal ada yang ngetawain kamu kok.”
“Tapi aku nggak pede nih.”
“Pede aja lagi, tenang gue ada di samping loe.”
 “Otreee....!!!” Seketika semangat Janet mulai membara lagi karena mendapat charger motivasi dari sahabat karibnya, Gisha.
“Baiklah adik-adik, mari kita mulai latihan pada sore hari ini dengan membaca doa. Berdoa dipersilahkan!” Pelatih karate memimpin doa sebelum latihan dimulai. “Berdoa selesai. Baiklah adik-adik yang saya sayangi, sebelum latihan dimulai kita lari mengelilingi lapangan ini sebanyak empat kali dan dilanjutkan dengan pemanasan dulu.”
“What! Empat kali Gis! Bisa gempor ni kakiku!” Janet melihat ke arah Gisha sambil melotot karena kaget. “Wah biasa aja kali Net ekspresimu.”
“Jadi kamu udah tau dan dengan teganya mengajakku? Teganya dirimu oh teganya...teganya...teganya...!” Janet mulai protes pada Gisha.
“Udahlah Net nggak papa, ntar juga biasa.”
“Sssssttttt.....dua cewek yang di belakang jangan berisik! cepat lari! Kalian sudah ditinggal yang lain,” tegur sang pelatih.
“Oh iya kak,” jawab Gisha dan Janet serempak.
“Buruan Net jangan lelet.”
Gisha akhirnya mulai berlari dan diikuti Janet dari belakang. Empat kali putaran lapangan tidak begitu terasa baginya. Berbeda dengan Janet yang baru satu putaran saja sudah terengah-engah. Setelah berlari dilanjutkan dengan pemanasan dan diajarkan beberapa dasar dalam bela diri karate. Tanpa terasa sang bulatan jingga mulai tergelincir ke barat. Saatnya latihan diakhiri. “Baiklah adik-adik, berhubung sudah sangat sore, latihan karate pada sore hari ini kita cukupkan. Sebelum pulang kita berkumpul dulu untuk saling mengenal dan didata siapa saja yang akan mengikuti penerimaan anggota baru karate ini.” Satu per satu setiap anggota baru memperkenalkan dirinya. Tiba saatnya Janet memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan nama saya Yolanda Janetta, tempat tanggal lahir, Malang, 3 September 1995. Sekarang usia saya 18 tahun, mengikuti latihan karate ini karena diajak Gisha, teman di sebelah saya ini.” Serentak semua mata tertuju pada Gisha. Gisha menjadi salah tingkah dibuatnya.“Awas ya Net ntar!” batinnya dalam hati. “Ya, silakan dek Gisha sekarang giliran kamu yang memperkenalkan diri,“ perintah kakak pelatih yang memimpin jalannya perkenalan singkat ini. Perkenalan berjalan lancar tanpa hambatan seperti jalan tol yang mulus, tinggal memulai acara selanjutnya di esok hari yaitu penerimaan anggota baru karate.
Dalam perjalanan pulang Janet tiada hentinya menggoda Gisha. “Hayooo...Cie...cie...Gisha ketauan lho!”
“Apaan si Net, daritadi cia cie melulu!” terdengar nada bicara Gisha agak sebal.
“Itu tuh...si kakak icikiwir!”
“Hahaha...icikiwir tu apa Net? Ada-ada aja loe.” Ekspresi muka Gisha berubah menjadi ingin tertawa mendengar celotehan dari Janet.
“Masak kamu kagak tau si Gis, apa pura-pura nggak tau? Itu tuh, tadi kakak pelatih ngliatin kamu trus lho pas kamu ngomong. Pandangannya itu lho, mengisaratkaan ada maksud tersirat dalam tatapan matanya ke kamu.”
“Eits...kesambet apa loe Net, tumben-tumbenan bahasa loe setinggi gunung lalu meledak. Haha..!”
“Jangan salah Gis, gini-gini aku masih titisan Eyangku lho.”
“Ya iyalah Net, semua orang juga tau kalau loe itu titisan Eyangmu.”
“Kirain kamu nggak tau Gis.”
“Oalah nih bocah pengen dijitak apa?”
“Ampun Gis...Ampun!” Janet berlari menghindari jitakan Gisha.
“Awas kamu ya kalau ketangkep!” Janet dan Gisha kejar-kejaran dalam perjalanan menuju kost mereka yang tidak jauh dari tempat latihan karate.
    Hari telah berganti, sang rembulan yang temaram kala malam mulai pucat dan perlahan menghilang digantikan sinar sang surya membelah cakrawala. “Imel, Janet buruan ke sini liat aku!” terdengar Gisha memanggil dua karibnya. “I’m coming!“ jawab Janet sambil berlari menuju kamar Gisha diikuti Imel di belakangnya. “Keren kan gue pake baju karate ini!” pamer Gisha pada Janet dan Imel. “Iya ya...kok kamu jadi keliatan tambah sangar Gis, keren!” Janet berkomentar. “Sudah kuduga kamu cocok pake baju itu Gis” Imel menambahkan. Postur tubuh yang ideal memang milik Gisha. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan berat badan yang ideal dengan muka manis membuatnya terlihat cocok mengenakan baju karate. “Yah, aku malah kedodoran nih pake baju karatenya,” Janet mulai berkeluh kesah. “Sudahlah buruan gih kalian berangkat, ntar telat lho,” Imel mengingatkan. “Oke, siap Imel cantik.” Gisha segera merangkul Janet dan mengajaknya untuk berangkat.
    Setelah berjalan tidak lebih dari 5 menit, Gisha dan Janet sampai di tempat latihan karate. Hari ini adalah hari Minggu, moment yang tepat bagi mereka untuk mengikuti penerimaan anggota baru karate karena mereka tidak disibukkan dengan rutinitas kuliah. Inilah saatnya mereka melepas penat, mendapatkan pengalaman baru yang tidak disangka-sangka bahkan tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Penerimaan anggota baru karate tidak hanya diikuti oleh anggota mahasiswa dari kampus mereka saja tetapi juga diikuti oleh banyak mahasiswa dari kampus lain. Nantinya mereka akan dibagi menjadi beberapa kelompok dalam melaksanakan kegiatan ini. “Wah, bisa ngecengin cowok-cowok cakep nih,” oceh Janet mulai kumat. ”Eh jangan gitu net, loe ke sini mau belajar karate apa ngecengin cowok-cowok?”
“ Iya deh Gis, kan cuma bercanda,” nada suara Janet mulai mengkerut. Tibalah saatnya pembagian kelompok. Ternyata Janet dan Gisha tidak satu kelompok. “Yah aku sendirian, dah..dah.. Gisha!” Janet say goodbye ke Gisha.
“Hai!” ada suara yang memanggil Janet saat dia akan menuju kelompoknya. Janet clingukkan mencari siapa yang memanggilnya. Tidak sengaja tatapan mata keduanya bertemu. Seketika itu jantung Janet berdetak sangat kencang, serasa di dunia ini menjadi begitu sunyi, begitu sepi, hanya ada dia dan cowok itu. “Hai!” cowok tadi memanggil Janet untuk kedua kalinya. “Kenalin namaku Aris, kita sekelompok lho.” Janet masih tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bisa membalas uluran tangan cowok tadi tanpa berucap sepatah kata pun. Perlahan Janet melepas uluran tangannya karena detak jantungnya semakin kencang. Dia tidak ingin teman-teman satu kelompoknya tahu kalau dia sedang salah tingkah. Anggota kelompok lainnya pun saling memperkenalkan diri. Penerimaan anggota baru karate segera dimulai. Setiap kelompok mengunjungi stan untuk diuji. Setiap mengunjungi stan, pandangan Janet tidak pernah berpaling dari Aris. Dia benar-benar terpesona dengan cowok itu. Ia melihat ada sesuatu di sorotan mata cowok itu. Semakin lama memandangnya akan semakin penasaran. Seperti sebuah misteri yang menarik dan ingin segera dipecahkan. Janet sangat penasaran dengan misteri ini. Selama bersama-sama mengunjungi stan, Janet melihat kemampuan Aris yang sepertinya punya bakat alami karate. Semakin bertambah rasa penasarannya dan muncul berbagai tanda tanya di benaknya. Di penghujung acara ada acara ramah tamah yang diisi dengan santai-santai dan makan-makan bersama. “Hai tadi namamu siapa? Kamu belum nyebutin namamu lho. Kan curang masak kamu tau namaku tapi aku nggak tau namamu?” Aris menghampiri Janet sambil menyapa dengan nada bercanda. Mau tidak mau Janet harus menyebutkan namanya. Sambil tersenyum manis Janet menjawab,” Namaku Janet.”
“Oh Janet, nama yang bagus.”
“ Tukeran nomor hape yuk biar nggak ilang kontak.”
“Oh my God! Dia minta nomor hapeku,”  batin Janet dalam hati. Serasa melayang ke angkasa, begitulah perasaan Janet saat itu. Tanpa sadar Janet menyerahkan hapenya ke Aris. Aris mengetikkan nomornya. “Aku misscall pake hapemu ya.”
“Lucky i’am in love with my best friend...lucky...” terdengar suara nada dering dari ponsel Aris. “Oke udah masuk. Langsung tak save ya.” Janet hanya bisa mengangguk-angguk. “Aku duluan ya, mau ambil makanan. Udah laper ni. Mau barengan nggak?”
“Oh nggak aku udah ambil tadi.“ Setelah Aris beranjak pergi dari hadapannya, Janet masih mematung di tempat. Seperti tidak rela Aris pergi menjauh darinya. Ia ingin berkata “Jangan pergi!”, tapi mulutnya tetap membisu. “Woooiiii.....!!! ngapain bengong Net, ngangenin gue ya. Baru juga ditinggal sebentar udah kangen.”
Janet masih diam seribu bahasa tanpa menanggapi Gisha. “Eh tuh cowok siapa? Cakep juga.”
Janet masih diam tanpa respon. “Hai Janet, diajak ngomong kok diem aja sih. Gue kayak ngomong sama patung tauk!”
“Oh iya Gis aku dengerin kok,” akhirnya Janet menjawab. Tanpa terasa waktu untuk kegiatan ini telah berakhir. Saatnya peserta untuk pulang ke tempat masing-masing. Janet melihat kepergian Aris. Entah kenapa dadanya terasa sakit saat melihat Aris pergi semakin menjauh. Tapi mau berbuat apapun dia harus pergi, tidak mungkin tidak.
    Sekembalinya Janet dan Gisha di kost , mereka disambut oleh Imel dengan senyum bahagia. “Gimana tadi acaranya? Sukses Net, Gis?” Imel menanyakan pada mereka bergantian. “Sukses dong,” Gisha menjawab dengan pasti. “Eh tapi ada yang aneh nih sama Janet. Masak habis dari sana dia jadi pendiem gini.” “Kenapa kamu Net?” tanya Imel penasaran. “Nih udah aku sediain es krim coklat kesukaanmu spesial buat kalian. Wah Imel baik banget si. Sini-sini!” Gisha langsung nyerobot es krimnya untuk dimakan. “Mau nggak Net, ntar tak abisin lho kalau nggak mau.”
“Aku mau,”  Janet langsung minta es krimnya ke Gisha.” Suapin dong, pinta Janet.” Ihhh...manja banget ni anak. Mereka menikmati es krim bersama.
    “Krik...Krik...pesan datang dibaca dong dibaca!” nada sms di hape Janet berbunyi kala dia sedang mengerjakan tugas untuk esok hari. “Hai Net, lagi apa?” Tidak ada nama yang tertera di ponselnya, karena penasaran dia membalas sms tersebut. “Maaf ini siapa ya kok tau namaku?”
“Ini Aris temen yang ketemu di penerimaan anggota baru karate tadi pagi. Masih inget kan?”
“Aris? Ini mimpi apa bukan? Janet menggumam sendiri sambil mencubiti pipinya sendiri. “Haduh sakit. Berarti ini bukan mimpi.” Akhirnya dia membalas smsnya lagi. “Oh iya Aris, maaf nomormu tadi belum kesave. Hehe.” Janet teringat belum ngesave nomornya. Smspun berlanjut sampai larut malam. Rasanya tidak terasa hari sudah berganti. Pagi hari Janet berangkat ke kampus bareng Imel dan Gisha. “Kenapa mata loe Net? Nggak tidur ya semalaman? Tapi kok bawaanya hari ini kamu seneng banget?”
“Iya nih semalem nggak sadar kalau nggak tidur. Hehe...Imel, Gisha kayaknya aku jatuh cinta deh.”
“Jatuh cinta sama siapa Net?”
“Sama cowok yang kemarin ketemu di penerimaan anggota baru karate Gis.”
“Oalah cowok itu? Kok bisanya?”
“Nggak tau nih aku deg-degan di sebelahnya, trus tadi malem smsan, aku seneng banget sampai lupa waktu.”
“Cie!” merekapun bergurau dalam perjalanan menuju kampus.
    Setiap sabtu sore dan minggu pagi Janet dan Gisha selalu berlatih karate. Janet selalu bersemangat latihan karena teringat Aris kalau latihan. Aris menjadi semangat besar baginya dalam menjalani hidup. Meskipun hanya kontek-kontekan lewat sms, facebook, tweeter sampai whatsappan. Setiap hari tidak ketinggalan mereka mengobrol masalah sehari-sehari. Apa yang telah dilakukannya selama seharian. Itu semua memotivasi Janet untuk melakukan berbagai hal positif dan meningkatkan prestasinya. Semakin lama semakin dekat hubungan mereka. Benih-benih cinta di hati Janet pun semakin berkembang. Tidak terasa sudah setengah tahun mereka saling mengenal. Latihan karate pun semakin lancar, Janet yang dulunya tidak bisa apa-apa kini sudah bisa menendang dan semakin mahir.
    “Kring...kring...” terdengar bunyi hape Janet bergetar. ”Net buruan diangkat tuh hape loe bunyi.”
“Tanggung nih masi ngerjain tugas dikit lagi selesai.”
”Dari Aris lho,” Imel menyahut. “Aris telpon?” Janet langsung menyergap hapenya yang tergeletak di atas meja. “ Hallo, kenapa Ris?”
“Net, aku ada kabar bagus lho.”
“Kabar apa?”
“Ini mau ada turnamen pertandingan karate, ayo ikutan Net.”
”Wah pertandingan?”
“Iya, ayo ikut. Aku juga udah daftar lho.”
“Gimana ya, aku bingung Ris.”
“Daftar aja, atau mau tak daftarin apa? Lumayan lho mengasah kemampuan kita, hadiahnya juga besar lho.”
“Iya deh aku ikut Ris.”
”Langsung tak daftarin ya. Dah..dah.. Janet cantik.” Aris langsung menutup teleponnya. “Tut...tut...tut...!!!”   
Saat turnamen pun tiba. Janet sudah mempersiapkan diri dengan baik. Setiap hari dia selalu rutin berlatih ditemani oleh Gisha dan disemangati oleh Imel. Memang kedua sahabatnya itu selalu memotivasi dan mendukung Janet. Janet sudah tidak sabar  lagi ingin bertemu dengan Aris. Di moment inilah dia bisa bertemu langsung dengan Aris lagi. Dia ingin memperlihatkan kemampuan terbaiknya. Pertandingan karate cewek dan cowok berlangsung terpisah sehingga mereka berjanji bertemu setelah pertandingan usai. Pertandingan berjalan seru, ronde demi ronde terus berjalan. “Tibalah kita pada semi final, kita panggil 2 petarung kita menuju gelanggang.” Sorak-sorak dan tepuk tangan meramaikan pertandingan. Tidak diduga ternyata Janet masuk semi final setelah mengalahkan kurang lebih 8 orang. Meskipun akhirnya kalah di semifinal, Janet tetap merebut Juara III Putri. Janet sudah cukup puas untuk menunjukkannya pada Aris. Sementara itu di gelanggang yang lain Aris berhasil menjadi Juara I Putra. Janet mengetahuinya dari Imel dan Gisha yang update info dari gelanggang sebelah. Pertandingan pun usai. Penyerahan hadiah dilakukan secara serempak. Juara putra dan putri dilakukan berdampingan.”Juara I jatuh kepada Aris Rahmat M. harap segera naik ke podium untuk menerima penghargaan.” Aris melihat ke arah Janet dengan senyum yang mengembang dan sangat manis. Tanpa sadar jantung Janet berdetak kencang lagi seperti saat pertama mereka bertemu setengah tahun yang lalu. Janet sangat bahagia karena bisa berdiri di tempat yang sama dengan Aris.
    Setelah penyerahan hadiah selesai, kegiatan turnamen pertandingan karate pun diakhiri. Janet menunggu Aris di kursi tunggu, sementara Gisha dan Imel sudah pulang duluan karena tidak ingin mengganggu pertemuan Janet dan Aris. “Net!” suara Aris memanggil Janet yang berjalan menghampiri Janet di kursi tunggu. “Wah kamu hebat ya Net, kecil-kecil gini bisa ngalahin banyak orang. Kecil-kecil cabe rawit. Hehe :p” Janet hanya tersipu malu mendengar pujian dari Aris. “Wah rasanya lama banget ya kita nggak ketemu. Kangen juga liat wajahmu yang mungil.”
“Uhhh...masak mungil sih, aku udah gede nih, Janet merajuk manja pada Aris.” Mereka memang terlihat sangat akrab, sampai-sampai orang yang belum tahu mereka pasti akan mengira mereka sepasang kekasih. “Bebh...aku ke sana ya,” terdengar suara merdu dari ujung lorong yang menuju tempat duduk mereka. “Ini aku bawain minuman.”
“Wah ini ya yang namanya Janet?”
“Iya bebh, sini aku kenalin. Janet ini Rara cewekku.” Seperti tersambar petir seketika perasaan Janet mengetahui kenyataan bahwa Aris sudah punya pacar. Padahal dia sangat yakin, sorotan mata itu, sorotan mata Aris ketika memandangnya adalah tatapan cinta. Begitu sejuk dan menenteramkan jiwanya. Tidak salah lagi, Janet merasakan itu adalah cinta. Janet yakin bahwa tatapan mata seseorang tidak akan pernah bohong. Tapi pada kenyataaannya dia telah ada yang memiliki. “Bebh ayo buruan pulang, daritadi ibu udah telpon melulu disuruh nganter ke tempat tante Yosi.”
“Oh iya bebh, bentar. Udah dulu ya Net aku pulang dulu. Seneng deh bisa ketemu kamu lagi. Dah..dah...Janet! Sampai ketemu lagi...” Aris dan Rara berjalan menjauh dari Janet dengan melambaikan tangan. Air mata pun jatuh dari mata indah Janet, ia sudah tidak mampu menahan sakit di dadanya lagi. Air mata terus mengalir di pipinya. Imel dan Gisha menerima sms dari Janet berbarengan. “Gis, Mel jemput aku di ruang tunggu stadion!” Ketika Imel dan Gisha datang, mereka kaget melihat Janet yang duduk sendirian sambil menangis. “Ya Allah Janet kamu kenapa?” Kedua sahabatnya itu memeluk Janet dan menenangkannya. Janet tiada henti menangis terisak-isak.

***End***